January 23, 2003

untukmu

rasa rinduku padamu adalah ribuan jarum
yang memburu ubunubun. begitu tajam,
menusuk, merasuk, menembus sampai
ke jantung

rasa cintaku padamu adalah kesadaran
yang dibangun pada pagi dan senja.
sebuah bentuk harapan dari seribu satu
keinginan

rasa yang kumiliki adalah hanya untukmu

BumiAllah, 13 Januari 2003
malam basah

malam yang basah, kekasih. sama seperti kotamu. dalam pengembaraan ini, hujan mengguyur seluruh rasa rinduku menjadi nyanyian yang tak mampu lagi dilagukan seorang bocah sekalipun. aku tahu, kemarin adalah hari dimana katakata menjelma cahaya dalam matamu, pun juga mataku. tapi perjalanan ini ternyata memaksaku menempuh jalan panjang, tanpa bisa mengaji kalimat cintamu

di dalam sini, mata batinku mampu menatapmu. seperti kutatap engkau pada malammalam dimana rembulan menyanyikan lagu cinta untuk kita. dan malam ini, kutemui engkau dengan rindu yang menggebu.

BumiAllah, desember 2002
dermagakan kapalmu, kekasih!

aku tak punya keberanian menghukummu, seperti tak beraninya aku untuk mengatakan agar engkau jangan pergi. menetaplah disini, buat jangkarmu. mulai detik ini, izinkan aku menutup pintu, setelah engkau berdiam di dalamnya. membangun kisah bersama

penantianku akan berakhir di sini. sebab, telah lama kunantikan pelaut yang tak lagi ingin pergi berlayar. tapi selalu kutemukan mereka yang sekedar singgah sekedar mengemas kembali perbekalan

burung cemas itu tak kedengaran lagi. mereka mungkin terbang ke atap kamar tetangga. dan aku, disini bersamamu, membangun kisah tentang rindu dan cinta

aku tahu, kelak kau akan butuh perjalanan, menghirup udara luar. saat itu, aku takkan membiarkanmu pergi seorang diri. aku akan pergi menemanimu, menjelajahi perbukitan, menelusuri kerikil, merambah rimbarimba. aku tak akan membiarkanmu menemukan persinggahan lain, selain disini
: dalam jiwaku.

BumiAllah, desember 2002
lempuyangan

hidup menjadi asing ketika engkau menjelma
igauanigauan dalam mimpi burukku yang panjang.
cinta yang kau kirimkan menjelma batu pada sungai harap,
mengalirkan seluruh resah dalam perahu tanpa sampan.

stasiun dalam kebisuan, menangisi anakanak kecemasan
yang setia melantunkan dongeng negeri dari tutuptutup botol
tak bermerk. hujan batu di negeriku, membawa logamlogam hitam, menyimpan belati pada belahan jantung paling kiri.

lampu merkuri berdarah dalam pekat,
mengumpulkan seluruh tanda tanya yang tersebar
di atas tanah kecemasan.

lihat! sebuah kepala tergeletak tanpa tubuh,
tanpa nama, tanpa asalusul.

BumiAllah, 04 agustus 2002
tolong katakan padanya

tolong katakan padanya,
di pagi atau senja hari aku akan datang
dengan setangkai bunga kematian di tangan kanan.
menjemputnya.

katakan juga padanya,
jangan pernah takut menghadapiku,
sebab aku tak akan membuatnya terlalu kesakitan.
aku hanya akan membawanya keluar rumah,
menikmati jalanan, menghirup udara segar,
mencium harum bunga di taman,
menjelajahi cakrawala.
aku hanya akan membuatnya melihat dunia
di luar dirinya. aku hanya akan membuatnya
sedikit tersenyum.

dan untuk yang terakhir kalinya,
katakan padanya untuk bersiapsiap dengan perbekalan.
aku akan membawanya menempuh perjalanan
yang panjang.

BumiAllah, 17 agustus 2002
hidup adalah penantian

pagi yang terbakar di sudut ruang,
menghitamkan dindingdinding cahaya,
arang yang membeku dalam udara,
mengendapkan dingin dalam hati.

“apa yang terjadi, terjadilah!”
suara burung memenuhi langit
dengan gema dan gaung.

“hidup adalah penantian!” katamu
di satu malam, saat perbincangan berbagi
resah itu meletus dalam sunyinya
seorang lelaki.

mari kita bergulat dengan matahari!
hijau rumputan di belakang rumah,
masih menyimpan ribuan kisah
tentang hari esok dan lusa.

BumiAllah, 16 Agustus 2002
hidup bagiku

hidup adalah pilihan kata orang.
bagiku, hidup tak lebih dari perjalanan panjang
melewati cuaca dan musim, membaca peta
dalam badai, menjelajahi ribuan kalimat
dan hurufhuruf rindu.

di luar jendela, rantingranting beku dalam diam,
termenung diantara hirukpikuk kota. melafalkan
syahadat bersama riang burung yang bernyanyi.
warna yang biru, cahaya yang membusuk
termakan usia dan jarak dibakar sepi
dan airmata.

tak ada lagi hidup,
ketika seluruh benda dimakan makhluk
bernama maut.

BumiAllah, 15 Agustus 2002
tafamorgana
: kepada sireum yang menjadi gila


telah kutinggalkan syahadat itu, sebab iblis
menjelma bidadari pada mataku. pelabuhan
cintamu tak lagi nampak, sebab perahuku
kini adalah kesombongan akan nasib. duniaku
kini adalah tafamorgana yang dibangun
malaikat menjelang kematian seorang penyair.

sajadah rindu yang kubentangkan tak mampu
lagi menyejukkan dendam yang merah, semerah
darah kematian yang kukerat dari pergelangan
kebiadaban manusia.

hidup yang menjadi kelam,
sebab doa itu tak mampu menembus dinding
jiwaku yang angkuh. cahaya yang semakin samar
tak mampu lagi kupandangi, sebab hidupku kini
adalah neraka yang kubangun sendiri di atas
nama kebencian.

BumiAllah, 07 april 2002
kegelisahanku tumpah menjadi butiran cahaya

aku tenggelam dalam lautan kabut, menyelami huruf
huruf yang bersembunyi diantara dua tebing, dalam
lembah rindu tak berdasar.

tenda harapku tak kuasa menahan jarum kecil rasa
cemas, menyerbu empat arah mata angin, membekukan
ilalang cinta yang liar, mengabarkan namamu pada
sebuah ruang gelap dan pekat.

namun rumah yang kita bangun atas nama kedamaian
telah berwujud surga bagi ikanikan dalam sungai matamu
yang bening, sebab kegelisahanku telah tumpah menjadi
butiran cahaya. menerangi segenap rasa cemas yang
masih setia pada pojok ruang dalam jiwa sang manusia.

BumiAllah, 30 maret 2002
rinduku menjadi sayap patah
pada hamparan langitmu


syahadat yang kurajut dengan airmata,
witir yang membeku di pertiga malam,
doa yang kuuntai dengan darah menjadi burung;
terbang menuju langit maghfirahmu.
tapi kepakanku hanya utopia, sebab ampunan itu
semakin tinggi, jauh meninggalkan ruhku
yang mengambang.

kalimat dosaku terlalu panjang untuk sebuah wacana
kesucian. nista itu telah memasuki setiap hurufnya,
dan aku tenggelam di dalamnya. menjadi seekor
cacing yang tinggal menunggu kematian.

rinduku hanya menjadi sayap patah pada hamparan
langitmu, meski segala resah telah kulabuhkan pada
sajadah cintamu.

BumiAllah, 26 maret 2002
angin
: idan


seperti halnya mentari,
aku tak pernah bosan untuk kembali mengulang
detikdetik bersama anginmu yang setia membawa
ketenangannya yang purba.
maka, ketika rindu itu kembali resah,
aku masih setia menunggu semilir angin
dari lembahmu.

BumiAllah, 20 maret 2002
resensi rinduku atas buku cintamu yang gelisah

telah kuhabiskan ribuan detik untuk mengeja hurufhuruf
yang terlahir dari gelisahmu yang purba. menghidupkan
kembali setangkai mawar yang sekarat atas cinta yang
tak lagi bercahaya.

telah kulewati malam yang sepi untuk memaknai nada
resah yang kau gesek dari biola cintamu, menghasilkan
sebuah lagu rindu atas notnot yang menyendiri ditelan
pekat dan gelap.

telah kubakar peradaban untuk meresensi rinduku atas
buku cintamu yang gelisah, sebab harihari semakin dekat
menuju ajalnya. dimana kau dan aku tak lagi bisa saling
menatap dan mengatakan kesetiaan. dimana kau dan aku
hanya terpejam meresapi setiap tetes darah yang mengalir
dari dua bola mata kita yang setia menyimpan
cerita rumah dan anakanak.

BumiAllah, 18 maret 2002
aku menghirup wangi kedamaian di tubuhmu

“aku ingin menitipkan kisah dalam mimpimu!” katamu
suatu malam, kembali kita rajut cerita dalam sepi.
pengembaraan imaji yang menyatukan dua hati
pada sebuah kontemplasi.
cerita yang mengalir pada dua bola matamu; bening.

“tapi aku tak lagi punya mimpi!” kata yang menjadi sembilu,
mencabik dua kutub hati, memusnahkan asa yang hendak
menggeliat, membunuh kisah yang kau bangun di kotamu.

“aku ingin mengajakmu pulang!” suaramu kembali
mengudara, membawa aroma sebuah desa.

aku menghirup bau pematang, hamparan ilalang, ricuh suara
kerbau, kicau burung pagi, aku menghirup bau tubuhmu
dengan peluh meleleh sehabis mencangkul sepetak sawah.
aku menghirup wangi kedamaian di tubuhmu.

BumiAllah, 16 maret 2002
malam satu muharram
: pandu abdurahman hamzah


langit kembali mengulang sejarahnya
yang berkilatan di udara. kemballi aku
membaca kisah di satu malam, dimana
rembulan telah menggenapkan usianya.
merkuri yang menjadi maya dimataku,
karena cahaya abadi adalah matamu,
membuat satu muharram adalah cinta
yang tak berkesudahan.

seluruh jagad tengah menulis
pada lembar terakhir diarynya
–perjalanan panjang melewati likuliku
sungai hidup yang terbentang.
menulis kembali petualangan baru pada
lembar yang masih putih, seputiih awan
pada di suatu pagi, dimana wajahmu
menghiasi gumpalannya.

ada yang ditulis seekor semut pada awal
hidupnya tahun ini, “cinta adalah sayap,
terbang menggapai langit bahagia!”

sedang aku, masih berdiri disampingmu.
menatap langit tanpa kacamata.

BumiAllah, 15 maret 2002
sajadah rindu

hidup tak lebih berharga ketika aku sekarat
di atas sajadah rindu yang kau bentangkan.
nafsu dan keinginan adalah cinta yang mengalir
pada segumpal kerinduan, yang dibangun dalam
sepi, dimana aku menjelma kupukupu, terbang
menuju diammu yang biru.

“aku sudah renta berpuisi, tapi aku rindu!”
teriakmu pada tengah malam yang basah.

tak ada rindu yang terpaksa, sebab rindu itu
yang memaksaku menukar sepi dengan wajahmu.
membuat silouet kecemasan yang melintas pada
jendela dalam sebuah ruang batin yang masih
terkunci, menunggumu mengetuk pintu.

BumiAllah, 12 maret 2002
sebuah rindu membelenggu
ruang dan waktu


sebuah rindu membelenggu ruang
dan waktu dalam dadamu. membekukan
sebuah peristiwa yang melintas sebagai
silouet kegamangan.
ada harap yang mengambang, memenuhi
langit hatimu yang kelabu.
jarum itu kembali memburu ujung
rambutmu, menjadikan seekor kupukupu
mendendangkan lagu kematian.
mata kelamku menangkap sekilas senyum
yang kau tancapkan pada jantung hijauku
yang kering.

ada resah yang senantiasa menjelajahi
rimba pada hamparan bumi hati
yang tengah disinggahi seekor semut dengan
terompah tuhan kecilnya. hingga asalusul
tak lagi nyata, hanya kilatankilatan nama
memenuhi satu ruang saja, menjadikan
cahaya memancar pada telapak tanganmu.

lorong yang semakin sempit dan gelap,
membawa lembarlembar syahadat menuju
arasy, dimana malaikat tengah berthawaf
memuja satu nama yang abadi.

sebuah rindu membelenggu ruang dan waktu
dalam dadamu, menjadikan cinta kehilangan
maknanya yang purba.

BumiAllah, 12 maret 2002
senja yang membawa kecemasan

jarak yang kita bentangkan di atas batu
resah menumbuhkan ilalang rindu yang liar.
cerita yang menjadi cahaya pada matamu,
lenyap ketika gelisah yang dibangun seekor
kupukupu menggeliat dalam sepi.
belati yang kau tanam di rahimku
membunuh segala hal tentangmu, karena
darah yang mengalir tak lagi merah;
kelabu seabadinya.

senja yang membawa kecemasan,
memaksaku pergi dari beningnya sungai
dalam matamu, dan aku tak lagi menemukan
tempat yang sama hanya untuk sekedar
melepaskan baju penat yang telah kupakai
berabadabad.

rambut yang menjadi kelabu, adalah nyanyian
usiaku yang dikejar waktu, yang setia
mendendangkan lagu kematian.

BumiAllah, 01 maret 2002
aku tenggelam dalam lautan kabut

aku tenggelam dalam lautan kabut,
menyelami hurufhuruf yang tersembunyi
pada lembah rindumu yang tak berdasar.
semakin dalam aku menyelam, semakin
jauh dasar lembah rindumu itu, dan aku
semakin tak berkekuatan memaknai huruf
hurufmu yang purba.

dzikir yang kuuntai bersama setiap tarikan
nafas, tak mampu mengantarku pada dasar
rindu, sebab rindumu adalah cahaya abadi
dalam dadaku.

rindu itu yang mampu mengantarku
ke depan pintumu, dimana lembarlembar
maghfirah melayang, dan ampunanmu
merasuk dalam jiwaku yang berlumur dosa
sepanjang perjalanan menuju rumah damai
yang abadi.

BumiAllah, 30 maret 2002
kupikul ribuan ton kecemasan
pada dua pundak kesabaran


hari yang semakin asing,
cuaca yang mulai gila dengan jutaan
cahaya diantara debudebu resah dan
gelisah yang mengambang,
pohonpohon meng-arang bersama
terbakarnya trotoar dan gedung
gedung megah, tempat seluruh mimpi
dijualbelikan dengan harga murah.

ada yang menatap kosong peradaban ini,
pada matanya terlahir tangis bayi yang
menyayat jantung pertiwi, pada diamnya
semerbak bau amis darah dari petikaian
saudara sendiri. dari gendang telinganya,
nyanyi bocahbocah jalanan berkumandang,
memenuhi ruang sesak ini oleh angkara
dan murka.

sedang pada jalanan panjang menuju rumah
damai, tengah kupikul ribuan ton kecemasan
pada dua pundak kesabaranku yang mulai lelah.

BumiAllah, 29 Juni 2002
23 pohon resah memburu langit
batinku yang kelabu


gelisah dalam ruang tunggu, menatap
sosok lemah yang terbaring beku,
menyimpan catatancatatan mimpi pada
koridor rumah sakit yang berbau alkohol
dan obatobat tak bernama.

perawat mengucapkan katakata panjang
yang memantul pada dindingdinding putih,
menggaung dalam gendang telingaku.
dokter memeriksa ribuan luka pada tubuhnya
yang kaku, mengerutkan dahi atas
ketakmengertiannya pada riwayat virus
yang bermukim dalam jasadnya yang purba.

ada yang tercabik dalam dadaku
saat menatap tarikan nafasnya yang berbatu,
ada yang menangis dalam sungai jiwaku
saat tetes demi tetes darah mengalir
lewat selang yang tak berujung.

ada kesedihan yang dibangun
bersama dengan hilangnya senyummu, bunda.

BumiAllah, 19 Juni 2002

January 21, 2003

jika esok

pagi yang menjadi cahaya rubuh
pada dua bola matamu, gelasgelas
mengambang, menerbangkan literan
kopi yang menjadi hujan, membasahi
padang ilalang tempat seluruh resah
tumbuh.

aku kehilangan nyanyian rindumu,
sebab malam tak lagi menyimpan mimpi
juga impian. maka kelak, jika camar
kembali ke pantai, aku akan menerbangkan
kembali layanglayang hitam pada langit
hatimu yang mungkin masih biru.

jika esok matahari terbit pada timur
batinmu, maka tunggulah aku
di persimpangan jalan itu, tempat resahku
dan gelisahmu bertemu, hanya untuk
sekedar saling mengucapkan apa kabar.

BumiAllah, 12 Juni 2002
merajut titik cahaya

aku mencintaimu dengan belati menancap
di jantungku, menghentikan detak nadi yang
mengalirkan bahasa rindu. engkaulah pelita
yang menyinari sudutsudut gelap dari hati
yang berlari. yang semerbak bersama harum
bunga yang menyegarkan desah nafas pelacur
tua. yang bernyanyi bersama burung pagi dalam
dadaku

kubangun surga dalam batin, yang senantiasa
mendendangkan dzikirdzikir kefanaan. kurajut
titik cahaya jadi sulaman matahari yang akan
membakar seluruh dosa dan nista

aku merindukanmu dengan sujud berkepanjangan,
melarutkan kesedihan pada secawan do`a dan
airmata. menancaplah segenap rasa, membelenggu
ruang dan waktu dengan luka yang kau kirimkan
serupa ayatayat suci dari cakrawala

aku mencintai dan merindukanmu dengan kesedihan
dan kebahagiaan yang terus mengalir pada sungai
dalam batinku, hingga batubatu tak lagi membisu.

BumiAllah, 06 desember 2001
malam yang cemas

sekian detik kita lewati malammalam yang
cemas, mengukir ketakpastian pada dinding
dinding yang slalu membisu
“apa yang kau cari pada angin yang beku?”
bisik sunyi pada daundaun kamboja
“tak ada! kecuali kebahagiaan yang tertunda”

ribuan detik, masih akan kita lewati malam
malam yang cemas, mencari makna purba
yang terkubur bersama cerita usang dalam
dada kita
baitbait dangding meranggas memakan
sebuah kartupos bergambar piramid

masih setia kusimpan luka yang kau titipkan
dari danau di kedua matamu, hingga harapan
hanya berwujud rembulan bagi pungguk yang
sekarat, lalu kembali kita ukir ketakpastian
pada dindingdinding yang slalu membisu.

BumiAllah, 23 nopember 2001
atas nama cinta

mengeras kembali ingatan tentang detikdetik
yang terbakar api dari luapan lahar panas,
-dari gunung merapi dalam dadamu
mengeringkan seluruh hamparan yang
memanjangkan keresahan

tak ada lagi pohon yang tersenyum tumbuh dalam
batinku, tunggultunggul saling berteriak. kebencian
dan angkara murka, menyesakkan seluruh udara,

tak ada lagi sejuk dalam paruparu, membunuh
seluruh burung yang terbang pada cakrawala dimana
matahari dan langit menyanyikan orkestra kematian

maka atas nama cinta, bunuhlah ingatanmu!

BumiAllah, 28 nopember 2001
engkau adalah cacing

engkau adalah cacing yang menggeliat di atas
ranjang berbatu, memimpikan cinta platonis
yang kau tanam pada mata seorang perempuan
biasa

matahari itu terbit dalam dadamu yang beku,
bercerita tentang hijau rumputan dan dendang
kerbau yang masih setia pada fatalitas

kontemplasi yang kau bangun dalam tidurmu
adalah kontiguitas hidup seekor kupukupu yang
sedetik lalu meninggalkan kepompong, tempat
evokasi dan afeksi melebur jadi satu tubuh

kau bangkitkan impresi fiksasi pada setiap jiwa,
ruang dan keadaan dalam batinku, hingga sebuah
fantasi melesat menuju angkasa, menyatu bersama
perseus dan rembulan

malam inipun kau berhasil membawaku melewati
fase astenia dengan mengeliminasi seluruh elegi
yang hadir bersama udara yang kuhirup.

BumiAllah, 06 desember 2001
elegi cinta anak manusia

1

adam menjerit di hutan hutan
memecah kesunyian di atas rimba yang tumbuh
dalam dadaku
hawa menangis di lembah lembah
mengakrabi sepi yang menggerai dalam rambut
hitam yang mengakar dalam batinku

cinta adalah bertemunya adam dan hawa pada
bukit arafah

2
mengingatmu adalah mencatat kembali hurufhuruf
yang telah lewat pada sungai makna, yang mengalir
diantara tebing yang menjulang
meneriakan keangkuhan yang sombong
yang dibangun dari batubatu, membeku dalam urat
nadiku

cinta adalah engkau yang tersenyum pada masa lalu

3
“apa yang kau maknai dari cinta?” bisikmu pada malam
malam kita
“cinta adalah danau pada dua bola matamu!” jawabku
jadi tanya berwujud bunga pada hatimu
“cinta itu tak ada!” teriakmu pada udara yang membawa
keresahannya sepanjang hari

4
hanya sepiring kebisuan dan segelas sepi mengakhiri
diskusi kita.

BumiAllah, 28 nopember 2001
larik desember
-mavic


desember menjerit resah, angin mencaci matahari
dan aku kehilanganmu di satu senja
sebuah kepergian yang menyisakan pertanyaan bagi
jiwaku, sebab cuaca tak membawamu kembali.

langkahmu, meninggalkan lembah tempatku
membenahi rumah masa lalu membuat luka kecil pada
kelopak mataku yang gelap

secawan do`a tak berhasil mengirim ketenangan pada
semut yang gelisah mengingat kematian.

aku cabik hatiku, agar serpihannya mampu kau maknai
dari jarak yang jauh, meski nafasmu tak lagi sebening
aliran sungai,
tapi hurufhuruf yang kubangun adalah lambaian bagi
keresahanmu yang abadi,
karena kita hanyalah sebatang ranting, tinggal
menunggu waktu memakan usia dari akar peradaban.

BumiAllah, 21 desember 2001
larik lebaran
-mavic


perbincangan yang resah adalah malam milik kita,
sebuah luka menguap ke udara, menyisakan satu
keharuan yang datang tibatiba
sepi telah menelanjangi malam dengan sebilah pisau
dari masa lalu. menghantarkan sepotong hati pada
sebuah sungai yang berkontemplasi, membangun
surga bagi ikanikan dalam dadamu.

engkau adalah rembulan yang resah bagi malammalam
panjangku yang senantiasa galau. kegelisahan telah
dihanyutkan menjadi luapan piluku yang tak seorang
pun memaknainya selain cintamu yang platonis.

lampu jalanan menyorotkan penderitaannya pada aspal
yang membisu, mereka bercerita tentang hidup anak
manusia dalam dada kita
udara masih juga sama, menebarkan kefanaan pada
setiap ruang dalam batin.

lebaran menjadi sebuah kerinduan yang kutanam pada
perut bumi, memakan usia dari setiap detik yang berlari
kesucian menjadi bahasa langit yang dihantarkan dalam
setiap denyut nadi, menelan malam yang semakin tua

kita hanyalah artefak dari peradaban yang marathon
dengan matahari, melompat dari satu galaksi ke galaksi
lain, kita hanyalah arca pada candicandi yang sombong,
yang dibangun dari darah berjuta jiwa dalam penjara
angkara

mereka berteriak dalam lambungku, malammalam kita
adalah perbincangan yang resah. citacita telah melebur
dalam larutan putus asa; hampa.
untuk kesekian kalinya, do`a menjadi gelembung udara,
terbang di atas langit hati kita yang tak lagi biru.

takbir dan tahmid merintih, menjadi tangisan sepanjang
perjalanan kegelapan dalam reruntuhan sisa usia.

BumiAllah, 16 desember 2001
airmata negeriku

merah putih berkibar bersama
nyanyian rindu ibu, pekik merdeka
mengudara bersama ribuan burung
yang terbang di atas langit
kemerdekaan yang biru.

segenap cerita menghiasi harihari dan
detikdetik yang masih terus saja berlari.
tapi di satu sudut negeriku, orangorang
menangis. kotakota terbakar, dan anak
anak bernyanyi dengan tutup botol
di tangan.

inikah buah kemerdekaan?
semua orang berteriak merdeka.
tapi tidak diriku yang terbelenggu luka,
sebab negeriku masih mengeluarkan
air mata.

BumiAllah, 13 Agustus 2002
kesetiaan semutku
: palestina


kuberikan kesetiaan semutku untuk
sebuah negeri yang tengah berduka.
duka yang menjadi cahaya.

hujan air mata telah reda entah berapa
lama, namun hujan darah mengalir deras,
menjadi sungai, menjadi ombak,
menggulung doadoa pada koridor mesjid
batu.

jiwajiwa suci diterbangkan para malaikat
menuju persinggahan abadi, setelah jerit
tangis menghiasi setiap detik dari hidup,
setelah ribuan bom memburu setiap waktu,
setelah kekejaman iblis yang menjelma
manusia meluluhlantakkan rumah syahadat
yang dibangun pada kebeningan hati.

kematian menjadi gerbang menuju kesucian,
dimana seluruh impian menjadi nyata dan
kenyataan adalah janji pasti dari pemilik
nama suci.

tak ada kebahagiaan selain kematian
dalam cintamu.

BumiAllah, 30 Mei 2002
palestina menjadi cahaya

rakaat panjang yang kubangun,
menitipkan sepotong hati agar slalu suci.
ribuan bayonet memburu dada syahadatku
yang tegak mengusung dua kalimat suci.
bom waktu memburu kepala dzikirku yang
tengadah dalam do’a suci.
puluhan senjata angkara menyerbu seluruh
tubuhku yang setia memikul panjipanji suci,
dimana Tuhan menurunkan malaikatnya
pada jantung keimananku.

dalam dadaku, palestina menjadi cahaya.

BumiAllah, 06 Mei 2002