February 19, 2003

biarkan malam

biarkan malam melukis wajahmu pada kanvas sunyi,
membiarkan setiap helai rambutmu tergerai ditiup angin sepi
yang menarinari di atas puncak rasa rindu yang senyap,
melebihi kuburan tua. sedang tinta kelam masih saja mencabik
cabik seluruh rasa cintamu pada hujan. menggapai kerinduan
yang mendalam. biarkan aku mencumbumu malam ini saja!
sebab, sunyi terus saja melukis wajahmu pada kanvas batinku.
biarkan!

BumiAllah, 01 oktober 2002
Ada yang Menamparnampar Kesadaranku

kutelusuri trotoar resah pada kotamu.
mencari jejak purba pada malam kosong,
dimana tak ada lagi dzikir cengkrik yang meminta
cahaya. jalanan lengang, menyimpan kelelahan,
sehabis disetubuhi rodaroda besi, sehabis baitbait
puisi dibakar aspal dan matahari, sehabis cerita
tentang darah dan airmata.

pada persimpangan yang menyimpan namamu,
helaian rindu terbang dibawa angin taufan rasa
cemas. menerbangkan debudebu gelisah pada
langit cinta yang tak lagi biru, sebab tak ada lagi
setangkai mawar mekar hari ini.

lampu merkuri menatap kosong harapan beraspal
yang sudah banyak menyimpan lubang putus asa.
sedang cahaya bulan masih sendu, sebab langit
menangisi seorang anak yang tak ingat jalan pulang.

ada yang menamparnampar kesadaranku,
saat hari menjelang pagi. fajar yang mengusir
cahaya bulan dan lampu merkuri sepanjang jalan
rindu dibentangkan, memaksaku menemukan
jejakmu yang hilang pada malammalam kosong.
dimana tak ada lagi dzikir ilalang, sebab tak ada
tanah yang tumbuh pada kota dalam batinmu.

BumiAllah, 22 september 2002
Engkaulah Sunyi Dalam Dadaku
: ts`p


hidup semakin asing bagiku, sementara luka terus bergerak
dari pedalaman paling purba. bersamamu, rindu menjelma abu.
dan resah menguap seperti embun tercium matahari.
duka yang abadi dalam setiap desahh nafas angin mengirim
baitbait puisi untuk kunikmati bersama secawan resah dari
gelasmu.

ada yang mencipta patahan-patahan huruf dari ribuan puisi
yang membentur dindingdinding kamar yang membatu. aku
mencintai sepi, katamu. dan engkau pun menjelma sunyi dalam
dadaku.

BumiAllah, 28 Agustus 2002
Larik Desember
-mavic


desember menjerit resah, angin mencaci matahari
dan aku kehilanganmu di satu senja
sebuah kepergian yang menyisakan pertanyaan bagi
jiwaku, sebab cuaca tak membawamu kembali.

langkahmu, meninggalkan lembah tempatku
membenahi rumah masa lalu membuat luka kecil pada
kelopak mataku yang gelap

secawan do`a tak berhasil mengirim ketenangan pada
semut yang gelisah mengingat kematian.

aku cabik hatiku, agar serpihannya mampu kau maknai
dari jarak yang jauh, meski nafasmu tak lagi sebening
aliran sungai,
tapi hurufhuruf yang kubangun adalah lambaian bagi
keresahanmu yang abadi,
karena kita hanyalah sebatang ranting, tinggal
menunggu waktu memakan usia dari akar peradaban.

BumiAllah, 21 desember 2001
Larik Lebaran
-mavic


perbincangan yang resah adalah malam milik kita,
sebuah luka menguap ke udara, menyisakan satu
keharuan yang datang tibatiba
sepi telah menelanjangi malam dengan sebilah pisau
dari masa lalu. menghantarkan sepotong hati pada
sebuah sungai yang berkontemplasi, membangun
surga bagi ikanikan dalam dadamu.

engkau adalah rembulan yang resah bagi malammalam
panjangku yang senantiasa galau. kegelisahan telah
dihanyutkan menjadi luapan piluku yang tak seorang
pun memaknainya selain cintamu yang platonis.

lampu jalanan menyorotkan penderitaannya pada aspal
yang membisu, mereka bercerita tentang hidup anak
manusia dalam dada kita
udara masih juga sama, menebarkan kefanaan pada
setiap ruang dalam batin.

lebaran menjadi sebuah kerinduan yang kutanam pada
perut bumi, memakan usia dari setiap detik yang berlari
kesucian menjadi bahasa langit yang dihantarkan dalam
setiap denyut nadi, menelan malam yang semakin tua

kita hanyalah artefak dari peradaban yang marathon
dengan matahari, melompat dari satu galaksi ke galaksi
lain, kita hanyalah arca pada candicandi yang sombong,
yang dibangun dari darah berjuta jiwa dalam penjara
angkara

mereka berteriak dalam lambungku, malammalam kita
adalah perbincangan yang resah
citacita telah melebur dalam larutan putus asa; hampa.
untuk kesekian kalinya, do`a menjadi gelembung udara,
terbang di atas langit hati kita yang tak lagi biru

takbir dan tahmid merintih, menjadi tangisan
sepanjang perjalanan kegelapan dalam reruntuhan
sisa usia.

BumiAllah, 16 desember 2001
Untukmu, Sehelai Daun Mengikhlaskan Diri Dibawa Nasib Angin
: Deden Hafiedz Usman


kembali, kusetubuhi malam pada dua bola matamu
menelusuri setiap lekuk tubuh rindu pada musim
yang panas, memaksa seekor elang terbang tak
sebatas awan.
kegelapan yang suci adalah bait puisi pada kitab suci,
di mana nama abadi menjadi tumpuan bagi perjuangan
mencapai hakekat cinta platonismu.

kisah itu kurebahkan pada pangkuan ilalang, mencairkan
es dendam yang lantas mengalir menuju laut penuh
harapan.
pohon yang berakar kecemasan menumbuhkan bunga
resah pada rantingranting yang sedih dan daun
mengikhlaskan diri dibawa nasib angin.

seperti keikhlasanku, mencintaimu dengan setangkai
melati mekar di beranda hati paling kanan.

BumiAllah, 18 Mei 2002
Merajut Titik Cahaya

aku mencintaimu dengan belati menancap
di jantungku, menghentikan detak nadi yang
mengalirkan bahasa rindu. engkaulah pelita
yang menyinari sudutsudut gelap dari hati
yang berlari. yang semerbak bersama harum
bunga yang menyegarkan desah nafas pelacur
tua. yang bernyanyi bersama burung pagi dalam
dadaku

kubangun surga dalam batin, yang senantiasa
mendendangkan dzikirdzikir kefanaan. kurajut
titik cahaya jadi sulaman matahari yang akan
membakar seluruh dosa dan nista

aku merindukanmu dengan sujud berkepanjangan,
melarutkan kesedihan pada secawan do`a dan
airmata. menancaplah segenap rasa, membelenggu
ruang dan waktu dengan luka yang kau kirimkan
serupa ayatayat suci dari cakrawala

aku mencintai dan merindukanmu dengan kesedihan
dan kebahagiaan yang terus mengalir pada sungai
dalam batinku, hingga batubatu tak lagi membisu.

BumiAllah, 06 desember 2001
Malam Yang Cemas

sekian detik kita lewati malammalam yang
cemas, mengukir ketakpastian pada dinding
dinding yang selalu membisu
“apa yang kau cari pada angin yang beku?”
bisik sunyi pada daundaun kamboja
“tak ada! kecuali kebahagiaan yang tertunda”

ribuan detik, masih akan kita lewati malam
malam yang cemas, mencari makna purba
yang terkubur bersama cerita usang dalam
dada kita
baitbait dangding meranggas memakan
sebuah kartupos bergambar piramid

masih setia kusimpan luka yang kau titipkan
dari danau di kedua matamu, hingga harapan
hanya berwujud rembulan bagi pungguk yang
sekarat, lalu kembali kita ukir ketakpastian
pada dindingdinding yang selalu membisu.

BumiAllah, 23 nopember 2001
hadirmu memekarkan sekuntum mawar pada kelopak
mataku yang gelap


penantian adalah sejauh langkahku menembus
sunyi seorang diri
katakata menjadi mantra dalam setiap tetes
aliran darah, mengalir pada sungai yang masih
setia pada bening

hadirmu memekarkan sekuntum mawar pada
kelopak mataku, menjadikan merahnya adalah
cahaya kedamaian pada dada seorang anak usia
belia

aku pahami engkau, wahai jiwa yang menebarkan
aroma rindu, membangkitkan seekor semut pada
nostalgia masa muda.

BumiAllah, 20 desember 2001
mencarimu dalam nadiku
Yono Wardito

aku kehilanganmu disaatsaat rindu mengetuk pintu hati
kucari jejak kakimu di setiap malam dalam kelam yang paling
dalam, namun kau entah dimana.
kembali kumaknai puisipuisi yang terlahir antara langit dan bumi
aku masih menunggumu di sudut kedamaian yang senantiasa
mengantarkanku tidur di kelelapan mimpi bersama bungabunga

"aku takkan pernah bosan mencarimu dalam nadiku"

February 15, 2003

Tunggu Aku Di Negeri Sunyi
: Deden Hafiedz Usman


hurufhurufmu memaksaku untuk menanam kembali
pohonpohon kepercayaan yang telah tumbang oleh
angin taufan rasa cemas. rangkaian kata yang kau
bangun di atas tanah rinduku mengokohkan kepingan
kepingan mimpi menjadi harap bagi pungguk yang
terkapar.

“tunggu aku di negeri sunyi! di mana tak ada hujan
air mata!” ucapmu sebelum berlalu.

tanah hitam masih menyimpan jejak kakimu, udara
kosong masih menyisakan nafas kerontangmu. dan di
langit, awan menyetubuhi matahari.
detikdetik memaksaku memintal kesabaran dengan
benang resah, ketika kutemukan cahaya pada kedua
bola matamu.

mencintaimu adalah menabur hari esok pada halaman
depan kebahagiaan.

BumiAllah, 17 Mei 2002